Masih
terdapat perbedaan dan perdebatan yang sengit di antara para pakar dan penulis
tentang psychological warfare (psy-war) terutama di Negara Barat. Perbedaan
dan perdebatan itu pasti didasari
perbedaan keahlian, sudut pandang, pengalaman, penggunaannya, misinya dan
lain-lainnya. Dengan sendirinya, perbedaan-perbedaan tersebut akan
mengakibatkan perbedaan dalam ruang lingkup, pengertian serta penggunaanya dan
misinya.
Berbicara
tentang terminology yang biasa dipergunakan para penulis di bidang psychological
warfare ada beberapa istilah yaitu: political
walfare (perang politik), ideological warfare (perang ideologi), nerve warfare
(perang saraf), propaganda warfare (perang propaganda), cold war (perang
dingin), thought war (perang otak), war of ideas (perang ide), war of words
(perang kata-kata), war of wits (perang kecerdasan), battle for men’s mind
(perjuangan terhadap otak manusia), campaign of truth (kampanye kebenaran), indirect
aggression (agresi tak langsung), international communication (komunikasi
internasional), international information (informasi internasional), international
propaganda (propaganda internasional).
Di
Indonesia, tidak ada yang mempermasalahkan istilah “psychological warfare” yang
dikenal sebagai perang urat syaraf. Hal ini tidak pernah diperdebatkan, karena
istilah perang urat syaraf itu sudah cukup baik, cukup tepat, cukup menantang
dan menarik untuk dipelajari sehingga di berbagai perguruan tinggi dan berbagai
pendidikan di bidang kemiliteran tidak jarang diketemukan kurikulum propaganda
dan perang urat syaraf. Istilah “psychological warfare” diterjemaahkan ke dalam
Bahasa Indonesia, kelihatannya lebih dekat pengertiannya dengan perang
kejiwaan.
Pada
tahun 1958, dengan Peraturan Pemerintah No.34 dibentuk Badan Kordinasi Penerangan
yang bertugas antara lain “mengadakan usaha-usaha antipropaganda dan perang
urat syaraf baik secara defensive maupun offensive sesuai dengan garis
kebijaksanaan Dewan Pertahanan Keamanan”. Muncullah istilah perang urat syaraf
secara resmi pada waktu itu dan pada tugas-tugas lembaga lainnya kemudian tidak
pernah mengundang perdebatan para ahli dan penulis sampai sekarang ini.
Kemudian Keputusan Presiden Panglima Tinggi No.2 /KOTI/ 1964 mengangkat Menteri
Penerangan sebagai anggota Operasi Tertinggi dengan tugas “menguasai dan
mengkoordinir segala aktivitas dibidang penerangan pembinaan mental dan
psywar”. Dari dua data dokumen tersebut di atas, telah muncul secara resmi
istilah perang urat syaraf dan psywar sebagai tugas yang harus diemban lembaga
resmi di Indonesia.
Muray
Dyer mengusulkan istilah “Political Communications” sebagai istilah yang lebih
tepat dan cocok dibahas secara akademik, karena menurut Muray Dyer, terdapat
“inadequacy” atau ketidakselarasan di dalam istilah psyyhological warfare akan
menemui kesulitan di dalam pemakaiannya apabila dihubungkan dengan masa damai.
Istilah tersebut juga akan menemui kesulitan apabila ditujukan kepada Negara
yang netral.
Muray
menambahkan, bahwa istilah psychological warfare itu selalu menimbulkan arti
tambahan yang tidak baik yang tentunya bersumber dari kata warfare sendiri yang
berarti perang. Kenapa Muray mengharapkan menggunakan istilah Political
Communication? Jawabnnya adalah “Agar timbul tendes-tendes suatu kesadaran
rakyat dari bangsa lain untuk menerima “way of life” dari bangsa kita sendiri,
membenarkan tujuan-tujuan dan cita-cita bangsa kita sendiri, atau setidaknya
mengharapkan dan menginginkan dari mereka suatu relevant political actions
yaitu suatu gerakan politik yang sejajar dan sehubungan.
Sedangkan
Lasswell lebih senang menggunakan istilah Political Warfare karena menurut dia,
istilah psychological warfare jauh lebih sempit dari istilah political warfare.
Baik dalam metode operasinya maupun di dalam peralatan yang dipakainya (media)
termasuk perbedaan di dalam tujuannya. Lasswell dengan tegas membedakan
kalimat-kalimat sebagai berikut:
“Psychological
warfare a new name for an old idea uses mass communication to destroy the
enemys will to resist. Political warfare covers more than use of mass communications.
It use the means communication in order to destroy the enemys will to fight”.
Lasswell
mengemukakan bahwa di dalam psychological warfare menggunakan media massa
dengan maksud untuk menghancurkan semangat bertahan daripada lawan. Sedangkan
political warfare menurut Lasswell jauh lebih luas dari pengertian di atas,
karena disamping media massa juga media lain turut dipakai dengan maksud untuk
menghancurkan semangat bertempur dari lawan itu.
Contoh
dari political warfare yaitu bukan hanya menyangkut kata-kata yang diucapkan
atau tertulis atau hanya berupa gambar saja atau surat selembaran. Ada yang
lebih luas daripada itu yaitu berupa tindakan dan senjata yang ditujukan kepada
fisik dan harta benda manusia. Bisa dilihat seperti kasus berikut: tindakan
pembunuhan assassination atau penghancuran dam dan lain-lain. Bila dilihat dari
sudut pandang komunikasi, jelas disitu tidak terkandung unsur-unsur dalam
proses komunikasi. Akan tetapi bila dilihat dari sudut politik, hal ini
seringkali dilakukan untuk mempengaruhi pendirian politik, misalnya di AS semua
pimpinan yang membela hak Negro selalu mati terbunuh.
Di
dalam pembunuhan itu sendiri tidak terjadi suatu proses komunikasi, yaitu
berupa pengoperasian lambang-lambang yang berarti dengan kelengkapan unsure-unsur
yang memungkinkan proses komunikasi itu bisa berjalan yaitu sumber, pesan,
media dan audiens. Tetapi pembunuhan itu digambarkan di atas sebenarnya dapat
diartikan membawa pesan bagi orang lain yaitu “Jangan membela hak-hak Negro
kalau kamu tidak ingin dibunuh seperti itu”. Pesan tersebut tidak di terang
diucapkan tapi, pesan itu sampai dan dimengerti oleh orang lain.
Lain
halnya dengan istilah propaganda yang sudah popular di Indonesia sehingga
rakyat biasa pun seolah-olah mengerti, namun selalu dikaitkan dengan pengertian
negatif seperti kebohongan, pemutarbalikan fakta dan lain-lain. Tugas
propaganda sekarang sering dipakai dalam bidang politik terutama yaitu
menyebarluaskan ajaran-ajaran politik, berbeda bila dibandingkan pada jaman
dulu yang mempunyai arti bahwa propagare yaitu menyebarkan, menaburkan,
membibitkan yang sering digunakan dalam ilmu biologi.
Dalam
sejarah Republik Indonesia, kata propaganda itu sangat menarik perhatian,
karena pada tanggal 19 Agustus 1945 dimana pada waktu itu dibentuk 12
kementrian di Negara Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan salah
satunya Kementrian Penerangan, Pemuda, Propaganda dan lain-lain. Dan mengapa
tugas propaganda di masukan kedalam tugas mentri penerangan?
Contoh
kasus selama Perang Dunia ke II, Adolf Hitler dibantu oleh Joseph Goebels
dengan penuh keyakinan telah menggunakan propaganda sebagai “alat penggerak
rakyat” untuk membangkitkan kembali semangat bangsanya yang kalah pada PD I.
Kemudian digunakanlah propaganda sebagai “alat pemupuk” kekuatan untuk mencapai
puncak kekuasaan di negaranya. Selain itu juga, propaganda dipergunakan sebagai
“alat menggunakan kekuasaan”, dengan mengobarkan dan menggerakan rakyat dan
tentara Jerman untuk mewujudkan idealisme. Penggunaan propaganda secara sistematik
dan berencana yang dilakukakn oleh Hitler dan Goebels serta jago-jago bicara
pada waktu sebelum dan selama PD II yang lalu, sudah sedikit memberi inspirasi
pada pembentukan Kementrian Penerangan, Pemuda dan Propaganda.
Dari
penjelasan tersebut, terlihat bahwa propaganda dipakai sebagai alatpenggerak
atau menggerakan rakyat, menggerakan pemuda dan untuk ikut serta berjuang
mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan. Kata-kata terucapkan
atau spoken words sangat besar pengaruhnya untuk mengobarkan perjuangan untuk
mempertahankan kemerdekaan pada revolusi fisik.